Aktivitas golongan Tionghoa di sejumlah tempat di Indonesia cenderung
dikonotasikan negatif. Mereka disebut-sebut sekumpulan oportunis yang
menginginkan kekayaan tanpa peduli masyarakat sekitarnya. Sebelum
dicitrakan rezim Orde Baru sejak 1966, masyarakat Tionghoa di Surabaya,
Jawa Timur, pernah mengalami perlakuan represif dari kekuasaan Sekutu
yang didasarkan pada diskriminasi rasial.
Kala itu, warga Tionghoa dituduh melakukan pencurian di gudang
makanan milik tentara Sekutu. Tuduhan tersebut membuat banyak warga
Tionghoa ditawan. Orang-orang Tionghoa di Pasar Pabean dan Songoyu yang
terdiri dari pedagang sampai buruh pasar dan pegawai kemudian bersatu
untuk memprotes penawanan itu. Pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa,
pancingan tentara Inggris kepada warga Tionghoa miskin untuk melakukan
pencurian di gudang makanan, serta perlakuan rasialis pada pembagian
kebutuhan pokok antara orang kulit putih dan Tionghoa membuat mereka
marah dan melakukan aksi mogok pada 10-13 Januari 1946.
Aksi perlawanan ini membuat ekonomi Surabaya mendadak lumpuh.
Akibatnya, kebutuhan logistik tentara Sekutu, komunitas Eropa dan
masyarakat di Surabaya, terhambat. Baru ketika Mayor Jenderal Mansergh
mengajukan permohonan maaf, kondisi ekonomi Surabaya pulih kembali.
Peristiwa pemogokan itu hanya sebagian kecil dari sikap represif dan
diskriminatif yang pernah dialami warga Tionghoa di Surabaya. Dalam buku
Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946) ini, kita juga diperkenalkan ihwal asal mula kedatangan imigran tionghoa di Surabaya yang semula terbentuk sebagai aktivitas individu yang tak terorganisir.
Gelombang migrasi yang tak teratur ini membuat mereka bebas
beraktivitas dengan memunculkan bahasa yang berlainan. Tiap imigran
membawa muatan budaya walau tak semua budaya leluhur mereka diterapkan.
Secara perlahan, bahasa asli mereka terdorong untuk hilang, yang
ditambah dengan perkawinan silang yang melahirkan generasi peranakan.
Pendidikan Barat dengan bahasa Belanda atau Melayu juga menjadi
faktor terkikisnya bahasa asli leluhur mereka di Surabaya. Dibandingkan
imigran lain, seperti India atau Arab, imigran Tionghoa menempati jumlah
terbesar di Surabaya.
***
Buku yang terbit pada 2010 ini semula adalah skripsi penulis,
Andjarwati Noordjanah, di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Gajah Mada dan pernah diterbitkan pada 2004 oleh penerbit Mesiass
(Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah) sebagai naskah bermutu program
Yayasan Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dan Ford Foundation.
Dalam buku ini, penulis juga mengupas eksistensi imigran Tionghoa yang
erat dengan pergantian kekuasaan sehingga mengakibatkan munculnya
kebijakan berbeda dari pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa (halaman
81).
Tak hanya itu, di bab 4, penulis memaparkan tiga kebijakan penguasa
terhadap warga Tionghoa mulai dari Belanda, Jepang, dan Indonesia. Di
masa Jepang, terjadi dualisme sikap warga Tionghoa antara golongan
peranakan yang berpendapat lebih mudah melawan gerakan fasisme Jepang di
tanah Jawa dan golongan Tionghoa totok yang solider pada penderitaan
saudaranya di Tiongkok tatkala dikuasai Jepang pada 1931.
Imamura, panglima Jepang di Indonesia saat itu, memanfaatkan warga
Tionghoa, dalam perspektif Jepang, dengan jalan menghidupkan kembali
budaya mereka. Kebijakan ini memperkuat identitas mereka, sekaligus
menjauhkan golongan peranakan dari budaya setempat. Akibatnya terjadi
perpecahan bagi gerakan perlawanan pada Jepang di Jawa dengan banyaknya
orang Tionghoa yang bekerja sama dengan Jepang.
Kala itu, Imamura sudah menerapkan apa yang disebut politik
devide et empera.
Dasar argumentasinya adalah, jika kebudayaan leluhurnya dihidupkan
kembali, niscaya perhatian warga Tionghoa dapat dimanfaatkan untuk
membantu kedudukan Jepang di Indonesia.
Di buku ini juga dijelaskan bahwa peran masyarakat Tionghoa dalam
mendirikan negara ini tidak kecil. Tatkala Jepang menduduki Surabaya,
mereka melakukan perlawanan dengan memboikot perdagangan produksi Jepang
yang disponsori Tjin Tjay Hwee (halaman 84). Di sini terlihat bahwa,
walau dengan cara beda, kebijakan Indonesia yang pernah menghilangkan
kecinaan,
yang dianggap menyebabkan mereka merasa bukan orang Indonesia, memiliki
dampak yang kurang lebih sama pada masa pendudukan Jepang, dengan
terjadinya dualisme sikap warga Tionghoa yang anti dan pro republik.
***
Usai membaca buku setebal 151 halaman ini, terdapat sejumlah catatan
yang dapat menjadi renungan. Pertama, perlakuan represif terhadap
masyarakat minoritas Tionghoa dari penjajah yang kemudian mewaris pada
Indonesia membuat kita makin paham bahwa sistem politik dari siapapun
penguasa umumnya dilakukan dengan memecah belah kekerabatan antar
etnis/bangsa yang punya peran penting di bidang ekonomi maupun
hubungannya dengan kaum pribumi.
Kedua, selain dapat menjadi kekayaan historis dengan keunggulannya
dalam menyajikan berbagai fakta yang terluputkan dalam sejarah, buku ini
dapat dijadikan refleksi yang menyentuh, bukan saja pada komunitas
Tionghoa, melainkan juga kepada pembaca bahwa hampir dalam tiap sejarah
kekuasaan, pemerintah cenderung amnesia terhadap kesalahan masa lalu.
Perilaku amnesia inilah yang membuat komunitas Tionghoa selalu berada
dalam posisi terpinggirkan.