Jumat, 03 Agustus 2012

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil

 

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah
peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata
di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung
dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan
ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan
telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.Pada bulan November 1949,


Dinas rahasia militer Belanda menerima laporan,bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikutsekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M.
Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan
Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus
KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet
Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.



Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal
Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan
Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden,
apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta
terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai
kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannyapenyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya
Westerling.
 

Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran
"penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling
agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera
memerintahkan penangkapan Westerling.Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah
RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS
harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan
timbul perang besar.


 


Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS,
namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman),
Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang
membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker
menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer
Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
 

Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak
Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum
itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah
menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap
Westerling. Saat itu Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes,
Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling
menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka.
Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut.
Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan
berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang
terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan dibawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus
merahasiakannya.



 
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan,
Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan
Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta
menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian
untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari
1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang
dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu,
satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17
Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa
Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah
menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota
pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan
meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
 

Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi
"Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan
bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh
komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm
besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles
juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol
Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00
Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di
Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di
 

Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi
dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah
dan baret hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling
mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke
Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh
pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan
melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju
Bandung."
 

Secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap
anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam
pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak
APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota
pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk
menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan.
Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang
diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan
satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling
sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan
Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa
Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles
juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya
di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
 

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri
dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh
dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir
pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis
Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan
skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di AS, vanKleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi
telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte
hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar